“Sitti Nurbaya”
(Kasih Tak Sampai)
Karya : Marah Rusli
Seorang Penghulu di padang yang bernama sutan Mahmud Syah dengan isterinya bernama Sitti Maryam, yang mempunyai seorang anak tunggal laki-laki bernama Samsul Bahri. Rumah mereka berdekatan dengan rumah seorang saudagar bernama Baginda Sulaeman, yang mempunyai seorang anak tunggal bernama Sitti Nurbaya. Dua keluarga ini adalah dua keluarga yang bersahabat karib.
Pada suatu hari setelah pulang dari sekolah, Samsulbahri mengajak sitti nurbaya pergi ke gunung padang bersama kedua orang temannya, yaitu Zainularifin dan Bahtiar untuk bertamasya. Samsulbahri, Zainularifin dan Bahtiar akan melanjutkan sekolah dokter jawa di Jakarta. Tepat pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka bertamasya ke gunung padang. Disana Samsulbahri menyatakan cintanya kepada Sitti Nurbaya yang mendapatkan balasan. Sejak itu pula mereka berdua mengadakan perjanjian akan sehidup semati.
Pada satu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Samsulbahri melanjutkan sekolahnya ke Jakarta bersama Zainularifin dan Bahtiar. Di sekolah itu, Samsulbahri satu kelas dengan Zainularifin.
Novel "Siti Nurbaya" |
Melihat kekayaan Baginda Sulaeman, Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka semua kekayaan Baginda sulaeman diputuskan akan dilenyapkan. Dengan perantara kaki tangannya itu dibakarlah tiga buah toko Baginda sulaeman, serta perahu-perahunya yang penuh berisi muatan ditenggelamkannya.
Untuk memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaeman meminjam uang kepada datuk Maringgih dan untuk mengembalikan uang pinjamannya itu, ia masih mempunyai pengharapan atas hasil kebun kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya itu oleh para kaki tangan Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak ada yang berbuah sedikitpun. Di samping itu, karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih, semua langganan yang telah berhutang pada Baginda Sulaeman mengingkari hutangnya. Dengan demikian Baginda Sulaeman menjadi orang yang sangat melarat, sehingga ia tidak bisa membayar hutangnya.
Karena Baginda Sulaeman tidak dapat membayar hutangnya, maka Datuk Maringgih bermaksud menyita rumah dan barang-barang milik Baginda Sulaeman, kecuali Jika Sitti Nurbaya diserahkan kepadanya untuk dijadikan sebagai istri. Awalnya Sitti Nurbaya menolak dan tidak sudi, tetapi ketika ayahnya hendak digiring akan dimasukan penjara, maka secara terpaksalah ia mau dijadikan sebagai isteri Datuk Maringgih, walaupun hatinya sangat benci padanya. Selanjutnya kejadian yang menimpa dirinya dan ayahnya itu segera diberitahukan kepada Samsulbahri.
Setelah setahun di Jakarta, menjelang puasa, pulanglah Samsulbahri ke padang. Setelah menjumpai orang tuanya yang sehat walafiat, pergilah ia ke rumah Baginda Sulaeman, setelah ia mendengar dari ibunya, bahwa Baginda Sulaeman sedang sakit. Sesampainya ke tempat yang di tuju, dijumpainya Baginda Sulaeman yang sedang terbaring sakit. Tidak lama setelah kedatangan Samsulbahri itu, datanglah Sitti Nurbaya yang memang ayahnya mengharapkan kedatangannya. Maka berjumpalah Samsulbahri dengan Sitti Nurbaya. Beberapa hari kemudian, berjumpalah mereka kembali dalam pertemuan di malam hari. Kedua nya yang saling melepas rindu itu, ternyata tidak mengetahui bahwa gerak-gerik merekasedang diikuti oleh Datuk Maringgih beserta Kaki tangannya. Karena tak tahan akan rindunnya, Samsulbahri dan Sitti Nurbaya pun berciuman. Pada saat itu lah Datuk Maringgih muncul dan terjadilah percekcokan diantara mereka. Karena mendengar kata-kata yang pedas dari Samsulbahri, maka Datuk Maringgih memukulkan tongkat dengan sekeras-kerasnya kepada Samsulbahri, Tetapi karena Samsulbahri menghindarkan dirinya sambil memegang Sitti Nurbaya, maka pukulan Datuk Maringgih tidak mengenai sasarannya, akhirnya ia pun tersungkur. Dengan segera Samsulbahri pun langsung menendangnya, karena kesakitan, berteriaklah Datuk Maringgih minta tolong. Mendengar teriakan itu keluarlah Pendekar Lima dari persembunyiannya dengan bersenjatakan sebilah keris.
Melihat Pendekar Lima membawa keris itu, berteriaklah Sitti Nurbaya sehingga teriakannya itu terdengar oleh para tetangga dan Baginda Sulaeman yang sedang sakit itu. Karena disangkannya Sitti Nurbaya mendapatkan kecelakaan, maka bangkitlah Baginda Sulaeman dan segera ke tempat anaknya itu. Tetapi karena kurang hati-hati, terperosoklah ia jatuh, sehingga seketika itu juga Baginda Sulaeman meninggal. Ia dikebumikan di gunung padang.
Pada waktu Pendekar Lima hendak menikam Samsulbahri, menghindarlah Samsulbahri,dan pada saat itu juga ia berhasil menendang tangan Pendekar Lima, sehingga keris yang ada ditangannya terlepas. Sementara itu, datanglah para tetangga yang mendengar teriakan Sitti Nurbaya itu. Melihat mereka yang berdatangan, larilah Pendekar lima ke tempat persembunyiannya.
Di para tetangga yang berdatangan itu, kelihatan pula Sutan Mahmud Syah yang hendak menyelesaikan peristiwa itu. Setelah ia mendengar penjelasan Datuk Maringgih tentang perbuatan yang telah dilakukan oleh anaknya itu, maka
tanpa dipikirkan masak-masak lebih dulu, Samsulbahri pun di usir oleh Sutan Mahmud Syah dari rumahnya, karena menurutnya ia telah mempermalukan keluarganya. Pada malam hari itu juga secara diam-diam Samsulbahri pun pergi ke Teluk Bayur untuk naik kapal menuju Jakarta. Pada pagi harinya, ributlah Sitti Maryam mencari anaknya itu. Setelah gagal mencari kesana-sini, maka dengan sedihnya, pergilah Sitti Maryam ke rumah saudaranya di Padang Panjang. Disana karena terus menyimpan rasa kesedihannya itu, ia pun jatuh sakit.
Sejak kematian ayahnya, Sitti Nurbaya menunjukan kekerasan hatinya kepada Datuk Maringgih. Ia pun berani mengusirnya dan tidak mau mengakui suaminya lagi. Dengan rasa geram hati dan dendam, pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya. Ia pun berencana akan membunuh Sitti Nurbaya.
Setelah peristiwa pertengkaran dengan Datuk Maringgih itu, Sitti Nurbaya tinggal di rumah saudara sepupunya bernama Alimah. Dirumah itu Sitti Nurbaya mendapatkan petunjuk-petunjuk dan nasihat, antara lain ialah untuk menjaga keselamatan atas dirinya, Sitti Nurbaya dinasihati oleh Alimah agar pergi saja ke Jakarta, berkumpul bersama Samsulbahri. Petunjuk dan nasihat Alimah sepenuhnya di terima oleh Sitti Nurbaya, dan diputuskannya ia akan pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut Sutan Mahmud Syah sejak pengusiran diri atas Samsulbahri tersebut. Kepada Samsulbahri pun ia memberitahukan kedatangannya itu. Tetapi malang bagi Sitti Nurbaya, karena percakapannya dengan Alimah tersebut, dapat didengar oleh kaki tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja memata-matainya.
Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah Sitti Nurbaya dengan Pak Ali ke Teluk Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta. Mereka tidak mengetahui bahwa perjalanan mereka diikuti oleh Pendekar Tiga dan Pendekar Lima. Setelah Sitti Nurbaya dan Pak Ali menaiki kapal dan mencari tempat yang tersembunyi, maka berkatalah pendekar Lima kepada Pendekar Tiga, bahwa ia akan mengikuti perjalanan Sitti Nurbaya ke Jakarta, sedang Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada Datuk Maringgih. Setelah itu, Pendekar Lima pun menaiki kapal tersebut dan mencari tempat yang tersembunyi pula.
Pada suatu saat tatkala orang menjadi ribut di kapal, akibat ombak yang sangat besar, lalu pergilah Pendekar Lima mencari tempat Sitti Nurbaya bersembunyi. Setelah ia mendapatkannya, ia pun menyeret Sitti Nurbaya dan akan membuangnya ke laut. Melihat kejadian itu, Pak Ali pun bertindak, tetapi ia pun mendapatkan pukulan Pendekar Lima dan tidak mampu melawannya kembali. Sitti Nurbaya pun berteriak sekuat-kuatnya sampai ia pun jatuh pingsan. Teriakannya itu terdengar oleh semua orang yang berada dalam kapal, lebih-lebih Kapten kapal itu. Karena takut ketahuan akan perbuatannya itu, Pendekar Lima pun lari untuk menyembunyikan diri. Sitti Nurbaya pun Akhirnya di angkat seseorang ke suatu kamar untuk di rawat.
Akhirnya tak lama kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Samsulbahri sudah gelisah menantikan kedatangan kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelahkapal itu merapat ke darat, maka naiklah Samsulbahri ke kapal untuk mencari Sitti Nurbaya. Alangkah terkejutnya ketika ia mendengar dari Kapten kapal dan Pak Ali, tentang peristiwa yang menimpa diri Sitti Nurbaya itu. Dengan di antar Kaptan kapal dan Pak Ali, pergilah Samsulbahri ke kamar Sitti Nurbaya dirawat. Sesampainya ia melihat Sitti Nurbaya terbaring dalam keadaan lemah tak berdaya.
Pada saat itu, tiba-tiba datanglah polisi mencari Sitti Nurbaya. Setelah berjumpa dengan Kaptan kapal dan Samsulbahri, diberitahukan kepada mereka bahwa kedatangan mencari Sitti Nurbaya itu ialah atas perintah atasannya yang telah mendapat telegram dari Padang, bahwa ada seorang wanita bernama Sitti Nurbaya yang yelah melarikan diri dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya dan diharapkan orang itu di tahan, dan dikirim kembali ke Padang. Mendengar hal itu, mengertilah Samsulbahri bahwa hal itu ialah tidak lain akal busuk Datuk Maringgih. Ia pun minta kepada polisi itu agar hal tersebut jangan diberitahukan dulu kepada Sitti Nurbaya, mengingat akan kesehatannya yang sangat mengkhawatirkan itu. Ia meminta kepada yang berwajib agar kekasihnya itu di rawat dulu di Jakarta, sampai ia sembuh sebelum kembali ke Padang. Permintaan Samsulbahri pun dikabulkan, setelah Dokter yang memeriksanya menganggap akan perlunya perawatan atas diri Sitti Nurbaya. Setelah Sitti Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal telegram itu kepada kekasihnya. Dengan senang hati, kabar itu pun di terima oleh Sitti Nurbaya. Ia pun bermaksud kembali ke Padang untuk menyelesaikan masalah yang didakwakan atas dirinya itu. Samsulbahri berusaha meminta kepada yang berwajib, agar perkara kekasihnya itu diperiksa di Jakarta saja, namun permintaan itu tidak dikabulkan. Maka pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah Sitti Nurbaya ke Padang dengan di antarkan oleh pihak yang berwajib. Dalam pemeriksaan di padang, ternyata Sitti Nurbaya tidak terbukti melakukan kejahatan seperti yang telah didakwakan atas dirinya itu. Karena itulah, Sitti Nurbaya dibebaskan dan disana ia tinggal di rumah Alimah.
Pada suatu hari, walaupun tidak disetujui oleh Alimah, Sitti Nurbaya pergi membeli kue yang dijagakan oleh Pendekar Empat, yaitu kaki tangan Datuk Maringgih. Kue yang sengaja disediakan khusus untuk Sitti Nurbaya itu telah berisi racun. Setelah penjaga kue itu pergi, Sitti Nurbaya pun makan kue yang baru saja dibelinya. Setelah makan kue itu, ia merasa kepalanya pusing. Tidak lama kemudian secara mendadak Sitti Nurbaya pun meninggal. Mendengar dan melihat hal itu, terkejutlah ibu Samsulbahri yang pada waktu itu sedang menderita sakit keras, sehingga menyebabkan kematiannya. Lalu kedua jenazah itu dikebumikan di Gunung Padang bersampingan dengan makan Baginda Sulaeman.
Kabar kematian Sitti Maryam dan Sitti Nurbaya itu langsung dikabarkan kepada Samsulbahri di Jakarta. Membaca telegram yang sangat menyedihkan itu, Samsulbahri memutuskan untuk bunuh diri. Sebelum hal itu dilakukannya, ia menulis surat kepada guru dan teman-temannya, demikian pula kepada ayahnya di Padang, untuk minta berpisah selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke kantor pos bersama Zainularifin untuk memasukan surat. Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan oleh Samsulbahri, sehingga Zainularifin pun tidak mengetahuinya. Sesampainya ke kantor pos, Samsulbahri minta berpisah dengan Zainularifin dengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah dijanjikannya. Zaenularifin pun memperkenankannya, tetapi dengan tidak diketahui oleh Samsulbahri, ia pun mengikuti gerak-gerik sahabatnya itu, karena ia mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
Pada suatu tempat di kegelapan, Samsulbahri berhenti dan mengeluarkan pistolnya yang kemudian menghadapkan ke kepalanya. Melihat yang dilakukan sahabatnya itu, Zaenularifin segera mengejarnya sambil berteriak. Karena teriakan Zaenularifin itu, peluru yang telah meletus itu tidak mengenai sasarannya. Akhirnya kabar tentang seorang murid Sekolah Dokter Jawa di Jakarta yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui surat kabar. Kabar itu pun sampai di Padang dan di dengar oleh Sutan Mahmud Syah dan Datuk Maringih.
Karena perawatan yang baik, sembuhlah Samsulbahri. Ia minta kepada yang berwajib agar berita mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan, sejak itu lah ia pun berhenti sekolah. Karena ia menginginkan untuk mati, ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia di kirim kemana-mana antara lain ke Aceh untuk memedamkan kerusakan-kerusakan yeng terjadi di sana. Karena keberaniannya, maka dalam waktu sepuluh tahun saja, pangkat Samsulbahri dinaikan menjadi Letnan dengan nama Letnan Mas.
Pada suatu hari, Letnan Mas bersama kawannya bernama Letnan Van Sta ditugaskan untuk memimpin anak buahnya memadamkan pemberontakan mengenai masalah Balasting (pajak). Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran, pergilah Letnan ke tempat pemakaman ibu, kekasihnya,dan baginda sulaeman di Gunung Padang.
Dalam pertempuran dengan pemberontakan itu, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk Maringgih yang termasuk sebagai salah satu pemimpin pemberontakan itu. Setelah bercekcok sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga ia pun menemui ajalnya. Tetapi sebelum ia meninggal, ia pun sempat membalasnya. Dengan ayunan pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang menyebabkan ia rebah. Ia rebah diatas timbunan mayat yang antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima. Kemudian Letnan Mas di angkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya bahwa ia tak lama lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas minta tolong kepada dokter yang merawatnya, agar dipanggilkan penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmud Syah, karena ada hal penting yang harus dikatakan kepadanya. Setelah Sutan Mahmud Syah datang, maka Letnan Mas pun berkata padanya bahwa Samsul bahri masih hidup dan sekarang berada di Padang untuk memadakan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit, karena luka-luka yang dideritanya. Dikatakan pula kepadanya, bahwa Samsulbahri sekarang bernama Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan Mahmud Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta dikebumikan di Gunung Padang di antara makam Sitti Nurbaya dan Sitti Maryam. Setelah berkata itu, maka Letnan Mas pun meninggal.
Setelah hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang merawatnya, barulah Sutan Mahmud Syah mengetahui bahwa yang baru saja meninggal itu adalah anaknya sendiri, yaitu Letnan Mas alias Samsulbahri. Kemudian dengan upacara kebesaran, baik pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang, dimakamkanlah jenazah Letnan Mas atau Samsulbahri itu diantara makam Sitti Maryam, Sitti Nurbaya seperti yang dimintanya.
Sepeninggalan Samsulbahri, karena sesal dan sedihnya maka beberapa hari kemudian, meninggal pula Sutan Mahmud Syah. Jenazahnya dikebumikan berdekatan dengan makam isterinya, yaitu Sitti Maryam. Dengan demikian dikuburan Gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar dan menderet, yaitu makam Baginda Sulaeman, Sitti Nurbaya, Samsulbahri, Sitti Maryam dan Sutan Mahmud Syah
Pendekatan Pragmatik
“ Alangkah indahnya Dunia ini, apabila diselimuti dengan butir-butir kedamaian, ketentraman, kasih sayang dan cinta. Tak ada orang-orang yang mempunyai sifat jahat dan berhati kelicikan, yang dapat merusak kedamaian dan ketentraman serta dapat merugikan orang-orang yang sedang menjalin ikatan kasih sayang dan cinta. Namun Kita harus percaya, orang-orang yang memiliki sifat jahat dan hati yang licik itu, akan menerima akibat yang telah diperbuat olehnya dan pada akhirnya mereka akan lemah dan kalah ”.
Novel yang berjudul ‘’Sitti Nurbaya” karya Marah Rusli ini, sangat menarik untuk dibaca oleh berbagai kalangan, karena setelah kita membaca novel ini, kita akan mendapatkan makna-makna baru kehidupan. Novel ini mengangkat tentang kisah cinta yang indah, tentang patriotisme,dan tentang perjuangan nilai-nilai kemanusiaan.
Novel ini berceritakan tentang sepasang kekasih yang menjalin ikatan cinta, dan mereka berdua berjanji akan sehidup-semati. Namun kini janji cinta itu, hanyalah sebuah khayalan, setelah tokoh yang bernama Datuk Maringgih memanfaatkan akal jahat dan liciknya, untuk memperistri Sitti Nurbaya kekasih dari Samsulbahri. Awalnya Sitti Nurbaya menolak dan tidak mau, tetapi karena ia tidak tega melihat ayahnya akan dimasukan kedalam penjara oleh sijahat Datuk Maringgih, Akhirnya dengan sangat terpaksa ia pun bersedia menjadi istrinya. Namun isi akhir segala novel ini ialah akhir dalam hidup (kematian). Semuannya berawal dari kejahatan Datuk Maringgih. Pertama, meninggalnya Baginda Sulaeman (ayah Sitti Nurbaya), disusul oleh meninggalnya Sitti Nurbaya dan Sitti Maryam (ibu Samsulbahri). Setelah itu karena pembalasan Samsulbahri kepada Datuk Maringgih, yang akhirnya Datuk Maringgih meninggal. Ia meninggal setelah bertarung dengan Samsulbahri yang pada waktu itu menjadi serdadu (tentara) yang berganti nama Letnan Mas. Namun tak lama, Samsulbahri pun meninggal dunia setelah mendapatkan perlawanan dari Datuk Maringgih yang sudah di tembak dengan pistolnya itu. Akhirnya Sutan Mahmud Syah (ayah Samsulbahri) pun meninggal dunia juga karena hidup dalam kesendiriannya.
Dalam novel ini juga, kedua tokoh yang bernama Samsulbahri dan Sitti nurbaya bisa dijadikan contoh atau panduan hidup untuk kita. Kita bisa lihat dari kepribadian tokoh Samsulbahri yang mempunyai sifat yang baik hati, berhati mulia, cerdas,dan membela orang yang lemah. Begitu juga dengan tokoh Sitti Nurbaya yang memiliki sifat baik hati, sopan, cerdas dan cantik, selain itu kita bisa lihat bagaimana keputusan yang diambil olehnya, untuk rela dan ikhlas menjadi istri si jahat Datuk Maringgih, karena ia tidak mau sampai ayahnya dimasukan ke penjara olehnya. Namun tokoh yang bernama Datuk Maringgih tidak boleh dijadikan sebagai contoh atau panduan hidup, karena ia memiliki sifat yang sangat buruk sekali, Padahal usianya yang sudah lanjut usia atau bisa di bilang kakek-kakek. kita bisa lihat dengan sifat yang jahat dan licik itu, ia dapat merugikan orang lain, bahkan dirinya sendiri, serta yang ia hanya pikirkan ialah kekayaan, menurutnya barang siapa yang melebihi kekayaannya, ia akan memusnahkannya. Jadi, tokoh yang bernama Datuk Maringgih jangan dijadikan sebagai panduan atau tokoh yang patut di contoh untuk kehidupan kita, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada hambanya yang berbuat jahat kepada sesamanya.
Pengarang mengajak kita, untuk memetik beberapa nilai moral dari novelnya yang berjudul ‘’Sitti Nurbaya’’ (Kasih Tak Sampai) yang sangat terkenal ini, antara lain :
“Demi orang-orang yang dicintainya, seorang wanita bersedia mengorbankan apa saja, meskipun ia tahu pengorbanannya dapat merugikan dirinya sendiri. Terlebihnya pengorbanan tersebut demi orang tuanya”.
“Bila asmara melanda jiwa seseorang, maka luasnya samudera tak akan mampu menghalangi jalannya cinta. Demikian cinta yang murni tak akan padam sampai mati”.
“Bagaimana pun juga praktek lintah darat merupakan sumber malapetaka bagi kehidupan keluarga”.
“Menjadi orang tua, hendaknya lebih bijaksana, tidak memutuskan suatu persoalan hanya karena untuk menutupi perasaan malu belaka sehingga mungkin berakibat penyesalan yang tak terhingga”.
“Kebenaran sungguh diatas segala-galanya”.
“Akhir dari segala kehidupan adalah mati, tetapi mati jangan dijadikan akhir dari persoalan hidup.”(Analisis Novel "Siti Nurbaya")