Saat awal kompeni berkuasa di Indonesia, mereka menemui kesulitan dalam menjaga loyalitas pegawai ekspatriat yang ditempatkan di Indonesia. Persoalannya bukan uang sepertinya. Hal ini menyusahkan pemerintah Belanda karena mereka butuh orang-orang mereka sendiri untuk menjadi tentara, juru tulis, dan sebagainya.
Gubernur Jenderal Jan Pieter-zoon Coen dalam masa jabatannya mengusulkan suatu solusi untuk membuat para ekspatriat ini betah. Ia meminta agar gadis-gadis yatim piatu di Belanda dikirimkan untuk menemani para ekspatriat ini. Alasan Coen adalah pria tidak bisa hidup tanpa wanita, lebih jauh lagi agar orang-orang kompeni bisa mendapatkan pasangan yang pantas dan mempunyai anak-anak dari kaum mereka sendiri.
Gadis-gadis yang dikirimkan ini berusia 11-20 tahun, dan mereka adalah gadis yatim piatu ataupun gadis dari keluarga miskin. Keluarga berada tidak akan mengizinkan putri-putri mereka pergi karena resiko dalam perjalanan melintasi laut yang berbulan-bulan, resiko penyakit di Batavia, dan resiko jatuh ke dalam pergaulan tidak sehat.
Beberapa tahun sebelum munculnya gagasan untuk mengirim gadis-gadis ini, Belanda pernah mengirimkan tigapuluh enam wanita Belanda yang merupakan istri tentara dan istri karyawan kompeni. Dua dari mereka meninggal di perjalanan, sedangkan tiga puluh empat lainnya tidak diketahui nasibnya dan tidak ada catatan tertulis mengenai mereka. Sebagian dari mereka dikirimkan ke Ambon dan sebagian lagi ke Jakarta (Batavia).
Dalam pemerintahan Gubernur Jendral Brouwer, yang menggantikan Coen, pengiriman gadis-gadis ataupun wanita imigran (dari Belanda) tidak dianjurkan. Brouwer beranggapan bahwa para gadis/wanita imigran terlalu banyak menuntut. Saat mereka akhirnya menjadi kaya, mereka bahkan ingin pulang untuk memamerkan kekayaannya. Brouwer berpandangan bahwa para serdadu atau pegawai kompeni yang beristrikan orang-orang Asia atau budak belian dari India, hidup mereka lebih teratur, rumah tangga mereka lebih terurus. Menurut Brouwer, ini semua karena istri mereka tidak banyak tuntutan.
Dua puluh tahun kemudian, setelah Brouwer tiba pertama kali di Hindia (Indonesia), migrasi para wanita Belanda sangat dibatasi. Belanda hanya mengirim para karyawan atau tentara yang masih bujangan. Wanita yang boleh pergi meninggalkan Belanda hanya yang berstatus sebagai istri. Karena pembatasan ini, para bujangan kompeni akhirnya menikahi wanita-wanita keturunan Belanda yang dahulu pernah didatangkan. Ada pula yang menikahi budak-budak wanita. Budak-budak ini berasal dari India, Birma, dan dari kepulauan di Indonesia. Orang Jawa tidak boleh tinggal dalam lingkungan benteng Batavia dan tidak dijadikan budak.